Tugas Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi
Nama : Mutiara Hikmah Hardiyanti
Kelas : 2EB24
NPM : 25212186
BAB
IV
Hukum
Perikatan
A. Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda
disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakaidalam literatur
hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat
orangyang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa
peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa
keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yangmengikat
itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk
undang-undangatau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’.
Dengan demikian, perikatan yangterjadi antara orang yang satu dengan yang lain
itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, Perikatan adalah
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu
akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukumharta kekayaan (law of property), juga terdapat
dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession)serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).Di dalam hukum
perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistemterbuka
adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian
apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau
tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-undang.
B. Dasar Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
1. Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul
undang-undang.
Perikatan
yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yaitu
a. Perikatan terjadi karena
undang-undang semata
b. Perikatan terjadi karena
undang-undang akibat perbuatan manusia
c. Perikatan terjadi bukan
perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela ( zaakwarneming).
C. Azas-Azas Dalam Hukum
Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan
diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan
azas konsensualisme.
Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak
yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri,
yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata
dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu
Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus
cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas
dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu
sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa)
yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
D. Wanprestasi Dan Akibat-Akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun
bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat
Wansprestasi
Akibat-akibat
wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti
rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena
kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si
debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang
berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh
kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.
3.
Peralihan Risiko Peralihan
risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di
luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek
perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
E. Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal
1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu
· Pembayaran;
· Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
· Pembaharuan utang;
· Perjumpaan utang atau kompensasi;
· Pencampuran utang;
· Pembebasan utang;
· Musnahnya barang yang terutang;
· Batal/pembatalan;
· Berlakunya suatu syarat batal dan
· Lewatnya waktu (Daluawarsa).
Selain
cara-cara di atas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya :
berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya
salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang
pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam
perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur
sendiri dan tidak oleh seorang lain.
1. Pembayaran
Dengan
“pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang
wajib membayar suatu utang, bukan saja si berutang, tetapi juga seorang kawan
berutang dan seorang penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan
bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak
mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama
dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya
sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu
sah, perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan
berkuasa memindahtangankannya.
Pembayaran
harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang
dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau
oleh UU untuk menerima pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.
2. Penawaran pembayaran tunai
diikuti oleh penyimpanan atau penitipan
Merupakan
cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran. Cara itu adalah sebagai berikut :
Barang
atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris
atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran
mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang
telah diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses
perbal.
Apabila
kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah
perkara pembayaran itu.
Apabila
kreditur menolak, maka notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu
menandatangani proses perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh
tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat
proses perbal tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si
berpiutang telah menolak pembayaran.
Langkah
berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada
pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu.
Setelah
itu, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah
hapus. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan
Pengadilan Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si
berpiutang sudah bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk
menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh
si berutang.
3. Pembaharuan utang atau Novasi
Menurut
pasal 1413 KUHPer, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang
atau novasi, yaitu:
Apabila
seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang
menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
Disebut dengan novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya
perjanjian.
Apabila
seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang
oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi subjektif passif
karena yang diganti adalah debiturnya;
Apabila
sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari
perikatannya. Disebut sebagai novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah
krediturnya.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
Merupakan
cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang
piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling
berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan,
dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5. Perjumpaan tersebut terjadi demi
hukum
Agar
dua utang dapat diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan
besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kedua utang itu harus
sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan
kwalitet yang sama, misalnya beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan
terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah
pihak itu telah lahir, terkecuali:
Apabila
dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum
dirampas dari pemiliknya;
Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
Jadi
ketentuan di atas merupakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.
6. Pencampuran utang
Apabila
kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur)
berkumpul pada satu orang, maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang
dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu
testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin
dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang
dalam hal pencampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
Pencampuran
utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan
para penanggung utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang terjadi pada
seorang penanggung utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
7. Pembebasan utang
Apabila
si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si
berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka
perikatan – yaitu hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena
pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan, misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela
oleh si berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan
utang perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa
perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga
kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan
antara pembebasan utang dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan
utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan
perikatan,
dan dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya
suatu pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak
yang menerima hibah dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas
sesuatu barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya
barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah,
tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi
musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
8. Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian
yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan
pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh
pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan
atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan
syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama,
secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
Kedua,
secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi
perjanjian dan di situlah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk
penuntutan secara aktif diberi batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan
sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan pembatalan
akan tidak diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari
pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan
atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan
haknya untuk meminta pembatalan.
Ada
pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi Woeker” diberikan kepada Hakim untuk
membatalkan perjanjian, kalau ternyata antara kedua belah pihak telah
diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak
seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang
pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.
9. Berlakunya syarat batal
Perikatan
bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik
secara menangguhkan lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau
secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam
hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud
itu terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru
akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu
syarat batal.
Dalam
Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga
saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu,
syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku
surutnya pembatalan itu hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu
mungkin dilaksanakan.
10. Lewat waktu (Daluwarsa)
Menurut
pasal 1946 KUHPer, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya
untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
Daluwarsa
untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”,
sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan)
dinamakan daluwarsa “extinctif”.
Menurut
pasal 1967, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang
bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh
tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu
tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan
lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah
suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut
di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan
dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan
demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
http://www.blogprinsip.blogspot.com/2012/10/hapusnya-suatu-perikatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar