Rabu, 26 Maret 2014

TUGAS 4 SOFTSKILL Aspek Hukum Dalam Ekonomi

Tugas Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi

Nama : Mutiara Hikmah Hardiyanti
Kelas : 2EB24
NPM : 25212186





BAB IV
Hukum Perikatan


A.    Pengertian Hukum Perikatan

            Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakaidalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang mengikat orangyang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yangmengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undangatau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yangterjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

            Jika dirumuskan, Perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukumharta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession)serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistemterbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

B.     Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
            1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
            2. Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yaitu
        a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
        b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
       c. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum          (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

C.  Azas-Azas Dalam Hukum Perikatan

            Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

            Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

            Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.


D. Wanprestasi Dan Akibat-Akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.

3. Peralihan RisikoPeralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

E. Hapusnya Suatu Perikatan

Pasal 1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu   

·       Pembayaran;
·       Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
·       Pembaharuan utang;
·       Perjumpaan utang atau kompensasi;
·       Pencampuran utang;
·       Pembebasan utang;
·       Musnahnya barang yang terutang;
·       Batal/pembatalan;
·       Berlakunya suatu syarat batal dan
·       Lewatnya waktu (Daluawarsa). 

Selain cara-cara di atas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya : berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.

1. Pembayaran

Dengan “pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib membayar suatu utang, bukan saja si berutang, tetapi juga seorang kawan berutang dan seorang penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu sah, perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa memindahtangankannya.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh UU untuk menerima pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan

Merupakan cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Cara itu adalah sebagai berikut :
Barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses perbal.
Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu.
Apabila kreditur menolak, maka notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya, hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat proses perbal tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah menolak pembayaran.
Langkah berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan itu.
Setelah itu, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah hapus. Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si berpiutang sudah bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si berutang.

3. Pembaharuan utang atau Novasi

Menurut pasal 1413 KUHPer, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Disebut dengan novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi subjektif passif karena yang diganti adalah debiturnya;
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut sebagai novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah krediturnya.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi

Merupakan cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.

5. Perjumpaan tersebut terjadi demi hukum

Agar dua utang dapat diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kedua utang itu harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak itu telah lahir, terkecuali:
Apabila dituntutnya pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya;
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
Jadi ketentuan di atas merupakan larangan kompensasi dalam hal-hal yang demikian.

6. Pencampuran utang

Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal pencampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
Pencampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang terjadi pada seorang penanggung utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.

7. Pembebasan utang

Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan – yaitu hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan, misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan antara pembebasan utang dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan
perikatan, dan dengan suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak yang menerima hibah dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya barang yang terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

8. Batal/pembatalan

Perjanjian-perjanjian yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama, secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim.
Kedua, secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan di situlah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.
Untuk penuntutan secara aktif diberi batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan pembatalan akan tidak diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
Ada pula kekuasaan yang oleh “Ordonansi Woeker” diberikan kepada Hakim untuk membatalkan perjanjian, kalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula, satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.

9. Berlakunya syarat batal

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu syarat batal.

Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku surutnya pembatalan itu hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin dilaksanakan.

10. Lewat waktu (Daluwarsa)

Menurut pasal 1946 KUHPer, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctif”.
Menurut pasal 1967, segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu “perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.blogprinsip.blogspot.com/2012/10/hapusnya-suatu-perikatan.html


TUGAS 3 SOFTSKILL Aspek Hukum Dalam Ekonomi

Tugas Softskill Aspek Hukum dalam Ekonomi

Nama : Mutiara Hikmah Hardiyanti
Kelas : 2EB24
NPM  : 25212186


BAB III
Hukum Perdata

A.    Hukum Perdata Yang Berlaku Di Indonesia

            Yang dimaksud dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU Kepailitan.

            Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848.

            Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.

B.     Sejarah Singkat Hukum Perdata

            Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)

            Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.

            Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

C.     Pengertian Dan Keadaan Hukum Di Indonesia

            Pengertian dan Keadaan Hukum Perdata di Indonesia. Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan didalam masyarakat. Perkataan hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana. Hukum privat materiil juga dikatakan sebagai Hukum Sipil, tapi karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum privat materiil (Hukum Perdata Materiil).

            Pengertian dari Hukum Privat adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahawa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain didalam suatu masyarakat tertentu.

            Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang lebih dikenal dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek dilingkungan pengadilan perdata. Didalam pengertian sempit kadang-kadang hukum perdata ini digunakan sebagai hukum dagang.

Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia

Keadaan hukum perdata di indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada dua faktor, yaitu:
·      Faktor Ethnis disebabkan keanekaragaman Hukum Adat bangsa Indonesia, karena negara kita terdiri dari berbagai suku bangsa.
·   Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163.I.S yang membagi penduduk indonesia  dalam tiga golongan, yaitu :
          a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan.

        b. Golongan Bumi Putera (pribumi atau bangsa asli Indonesia) dan yang dipersamakan.

          c. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).

Dan pasal 131.I.S yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal diatas. Hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan, yaitu :

Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku hukum perdata dan hukum dagang barat yang diselaraskan dengan hukum perdata dan hukum dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.

-       Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu berlaku dikalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.

-    Bagi golongan timur asing juga berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing siperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.

            Untuk memahami keadaan hukum perdata di Indonesia kita perlu mengetahui riwayat politik pemerintah Hindia-Belanda terlebih dahulu terhadap hukum di Indonesia. Pedoman politik bagi pemerintah hindia belanda terhadap hukum di indonesia ditulis dalam pasal 131 (I.S) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 JJR yang pokok-pokoknya sebagai berikut :
            Hukum perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu kodifikasi).
            Untuk Golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas konkordansi). Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing, jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
            Orang Indonesia Asli dan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja.
            Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam Undang-Undang, maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.

Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia, seperti :
  • Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen (Staatsblad 1993 No.74)
  • Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 No.570 berhubungan dengan No.717.
 Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
  • Undang-Undang hak pengarang
  • Peraturan umum tentang koperasi
  • Ordonansi Woeker
  • Ordonansi tentang pengangkutan di udara



D.    Sistematika Hukum Di Indonesia

            Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
     
            Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
            Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.

            Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.

Sistematika Hukum Perdata itu ada 2, yaitu sebagai berikut:

    ·       Menurut Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan
·       Menurut Undang-Undang/Hukum Perdata
Sistematika Menurt Ilmu Hukum/Ilmu Pengetahuan terdiri dari:
·       Hukum tentang orang/hukum perorangan/badan pribadi (personen recht)
·       Hukum tentang keluarga/hukum keluarga (Familie Recht)
·  Hukum tentang harta kekyaan/hukum harta kekayaan/hukum harta benda (vermogen recht)
·       Hukum waris/erfrecht
Sistematika hukum perdata menurut kitab Undang-Undang hukum perdata
·       Buku I tentang orang/van personen
·       Buku II tentang benda/van zaken
·       Buku III tentang perikatan/van verbintenisen
·       Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa/van bewijs en verjaring

Apabila kita gabungkan sistematika menurut ilmu pengetahuan ke dalam sistematika menurut KUHPerdata maka:
·       Hukum perorangan termasuk Buku I
·       Hukum keluarga termasuk Buku I
·       Hukum harta kekayaan termasuk buku II sepanjang yang bersifat absolute dan termasuk Buku III sepanjang yang bersifat relative
·       Hukum waris termasuk Buku II karena Buku II mengatur tentang benda sedangkan hokum waris juga mengatur benda dari pewaris/orang yang sudah meninggal karena pewarisan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik yang diatur dalam pasa 584 KUHperdata (terdapat dalam Buku II) yang menyatakan sebagai berikut :

    “Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dank arena penunjukan atau penyerahan, berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

E. Hapusnya Perikatan

   Meskipun suatu perjanjian di harapkandapat trlaksana sebagaimana kehendak awal para pihak. namun sebuah perjanjian terkadang di hadapakna dengan one prestasi atau kelalaian salah satu pihak dalam melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. berikut dikemukakan berbagi hal apa sajakah yang dapat mengakibatkan hapusnya perikatan pasal 1381 KUH.Pdt. menyebutkan sepuluh cara  hapusnya suatu perikatan,ialah :

1. Pembayaran, pembayaran yang dimaksud oleh undang-undang dengan perkataan “pembayaran” ialah     pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.

2. Penawaran pembayaran tunai disertai dengan penitipan (consignatie), ialah bilamana pihak kreditur tidak bersedia menerima pembayaran, hal ini tentunya akan menimbulkan kesukaran, seperti pembayaran bunga. Keadaan seperti di atas mempunyai carauntuk mengatasinya yaitu dengan menawarkan secara resmi (perantaraan seorang notaries atau seorang jurusita pengadilan), barang atau uang.

3. Pembaharuan utang, yang dimaksud dengan pembaharuan utang ialah suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama sambil meletakkan suatu perjanjian baru.

4. Perjumpaan hutang (compensasi), ialah jika seorang yang berhutang, mempunyai suatu pihutang, pada siberpihutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih pihutang satu kepada yang lainnya, maka hutang pihutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.

5. Percampuran hutang, ialah ini terjadi misalnya, jika siberpihutang kawin dalam percampuran kekayaan. Siberpihutang atau jika siberpihutang menggantikan hak-hak siberpihutang karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya.

6. Pembebasan hutang, ini suatu perjanjian baru dimana siberpihutang dengan suka rela membebaskan siberhutang dari segala kewajibannya, kalau pembebasan itu diterima baik oleh siberhutang.

7. Musnahnya benda yang berutang, menurut pasal 1444 KUH.Pdt. jika suatu barang tertentu yang dimaksud musnah/hapus dan atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keberadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus/musnahnya barang itu sama sekali diluar kesalahan siberhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkan.

Meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, iapun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaanya.

8. Pembatalan perjanjian, perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kehilapan atau penipuan ataupun mempunyai sebab yang bertentangan dengan unang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara dua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.

9. Berlakunya syarat batal, berlakunya suatu syarat batal, telah dibicarakan waktu membahas perikatan bersyarat. Hal ini yang perlu diingatkan lagi ialah bahwa dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamnya berlaku surut hingga lahirya perjanjian.

10. Lewat waktu/daluwarsa, perihal lewat waktu/daluwarsa secara khusus akan dibahas dalam buku IV KUH.Pdt.


DAFTAR PUSTAKA

http://id.scribd.com/doc/17222337/Hukum-Perdata